Kami ingin menikmati akhir tahun ini bersama kabut tipis yang turun menelusuri lembah kasih “Ranu Kumbolo” Menapaki “Tanjakan Cinta” dan merebahkan sejenak rasa lelah ini di hamparan luas “Oro’Oro Ombo”, Merenungi bekas aliran lahar di “Kalimati” Menyampaikan salam keagungan pada jurang-jurang di sekitar “Arcopodo” hingga akhirnya kami berharap dapat menyapa surya di balik “Mahameru” Yang selalu bergemuruh, Setelah angin sejuk berlalu sore itu, aku sendiri sibuk mengerutkan dahi dan mencoba berpikir tentang mimpi-mimpi. Pada akhirnya jawaban tersebut terlintas dalam benak pemuda tanggung yang mengelilingi dirinya sendiri dengan asa dan harapan. Pemuda ini telah berjalan sedemikian rupa, sehingga kaki-kaki kusutnya telah melupakan diri dari rasa lelah, dan mungkin juga melewatkan diri dari rasa jenuh.
Aku kembali berpikir tentang masa depan, namun sesekali masa lalu mulai menggelitik dalam geli-nya sindiran gerimis dikala mendung. Aku meniti kembali setiap janji dalam hati yang telah tersirat dalam perasaan rindu. Rindu akan alam dan sejuknya udara dingin. Rindu akan damai dan tenangnya angin kehidupan. Kehidupan yang sunyi dan jujur. Sejenak aku berpikir tentang rimba hutan-hutan yang rindang, dan merdunya suara ranting yang saling berbisik tentang sajak-sajak kerinduan. Semuanya mengembalikan jiwaku ke dalam jurang asa yang dalam dan membangkitkan kembali tangisan kecil pemuda tanggung kala itu. Seorang laki-laki sederhana yang nekat membelah lautan mimpi dan terus berjalan demi sebuah asa. Laki-laki muda yang selalu berdoa pada Tuhan, menatap puncak-puncak mimpi dengan batu-batunya yang terjal. Serta menapakkan kaki-nya pada jalan setapak yang rumit.
Kerinduan itu pun akhirnya terbayar sudah, setelah cita-cita menjejakkan kaki di gunung tertinggi Pulau Jawa terpenuhi minggu lalu (Tanggal 24-27 Desember 2011). Rasanya seperti reuni, karena beberapa teman yang ikut pendakian kali ini adalah teman-teman seperjuangan di Gunung Arjuno satu tahun lalu. Lebih istimewa lagi karena pada pendakian kali ini, calon istriku ikut bersama teman-teman gurunya. Memang kebahagiaan ini belum terasa lengkap karena kami gagal menggapai Mahameru dikarenakan badai dan cuaca yang sangat buruk di puncak. Tetapi tak apalah, karena kami telah berjanji kepada Mahameru dan Jonggring Saloka untuk kembali lagi suatu saat nanti. Aku sendiri sudah memendam keinginan untuk mendaki Gunung Semeru sejak lama sekali, bahkan sebelum aku lulus menjadi dokter. Ketika teman-teman satu kontrakanku mendaki Gunung Semeru, aku tidak bisa bergabung karena harus ujian semester. Ketika ada ajakan lagi dari teman sekampus untuk mendaki gunung Semeru, aku juga tidak bisa ikut karena sedang sakit. Dua kali melewatkan kesempatan untuk menyapa sejuknya gunung yang merenggut nyawa Soe Hok Gie ini membuatku benar-benar penasaran untuk segera bisa mendaki gunung ini. Kesempatan itu pun akhirnya tiba. Kini aku telah menyelesaikan pendidikan sebagai dokter, dan sudah bekerja di beberapa klinik di Surabaya. Sambil menunggu pelantikan dan pengambilan sumpah dokter, dan demi merayakan kelulusanku dalam menghadapi UKDI, maka akhir tahun 2011 ini aku anggap sebagai waktu yang tepat untuk menuntaskan rasa penasaranku akan gunung yang ternyata sangat indah ini. Ya, aku memutuskan untuk mendaki Gunung Semeru pada akhir tahun ini. Aku bersyukur terhadap semua yang telah Allah berikan padaku selama ini. Kisah yang rumit, hingga perjalanan hidup yang panjang, juga kehidupan yang keras membuatku sedikit banyak tahu bagaimana menghargai suatu kehidupan.
Aku sejenak berdiri mengelilingi sebuah batu-batu kecil, lalu berbalik memandang awan yang biru menghadap ke atas kepada burung-burung pembawa mimpi, Kemudian aku berterima kasih pada bintang yang memelukku erat, membawaku jauh ke dalam lubuk angan yang dalam, ke masa lalu dan mengingatkanku akan air mata, membolak-balikkan nada pikiranku tak beraturan membuatku tersenyum pada cita-cita, Aku menyadari aku-lah masa lalu itu, dan aku pulalah masa depan in.
Aku coba kembali merunut kejadian-kejadian yang pernah aku lewati. Aku adalah anak kecil dari desa yang ditinggal ayahku pergi untuk selama-lamanya pada saat aku duduk di bangku sekolah dasar, beliau menderita sakit parah sejak kecil dan hal terakhir yang aku ingat adalah kedua kakinya bengkak menjelang kematiannya (Pada akhirnya aku tahu kalau inilah yang disebut Decomp.Cordis, suatu penyakit jantung yang ditandai dengan kegagalan jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh.). Ayahku meninggalkan satu istri dan dua orang anak yang masih kecil, aku yang masih berumur 10 tahun dan adikku yang masih berumur 2 tahun. Perubahan besar inilah yaang pada akhirnya mengarahkan hidup dan cita-citaku. Sejak kematian ayahku, aku melihat ummiku menangis tiap malam. Aku tahu beliau sedang mendoakan ayahku dan kedua anaknya yang nakal ini. Ummi tidak bekerja sebelumnya, dan ayahku hanya PNS golongan II biasa. Praktis untuk bertahan hidup kami hanya mengandalkan uang pensiunan ayahku yang jelas tidak akan mencukupi untuk keluarga kami. Aku ingat pada saat itu uang pensiunan ayahku hanya sekitar Rp. 700.000,- dan sampai aku lulus menjadi dokter, uang pensiunan ayahku hanya bertambah menjadi Rp. 950.000,-. Sementara gaji PNS yang lain naik berkali-kali lipat luar biasa tetapi selama 14 tahun, uang pensiunan ayahku hanya bertambah sekitar 200 ribuan…??.
Aku tahu kondisi saat itu membuat ummiku harus bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi keluarga kecil kami. Beliau menjalani pekerjaan sebagai buruh jahit, yang penghasilannya tidak seberapa, namun paling tidak cukup untuk menghidupi kami pada saat itu. Setiap pakaian yang beliau jahit hanya dihargai Rp 3.000,-. Jumlah yang cukup bagi keluarga kami saat itu. Ummiku menjahit dua hingga tiga potong pakaian tiap hari, dan dari tambahan uang inilah kami bisa bertahan hidup dan aku masih bisa sekolah. Sejak meninggalnya ayah, ummiku pun berubah menjadi keras dalam mendidik anak-anaknya dan aku sangat paham akan hal itu. Ummiku memutuskan untuk tidak menikah lagi dan lebih memilih membesarkan kedua anaknya dengan kemampuan yang ada. Aku bangga dengan tekad beliau dan apa yang telah beliau usahakan untuk kedua anaknya ini. Tiap hari ummiku menasehati dan mengajarkanku bagaimana kita harus bertahan hidup pada situasi ini. Ada satu nasehat yang sampai saat ini masih terngiang di kepalaku, dan nasehat itulah yang sedikit banyak mempengaruhi hidupku, saat itu hingga sekarang. Sepeninggal ayahku, keluarga kami bukanlah keluarga yang mampu seperti dulu, kami tak ubahnya seperti kebanyakan orang yang harus susah payah untuk bisa bertahan hidup. Oleh karena itu Ummi selalu berpesan padaku seperti ini, Dengan campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa ummi berpesan, “Orang-orang seperti kita ini…, apa nak yang bisa dibanggakan??” Gak onok sing iso dibanggakno, kecuali kalau awakmu iku pinter, kalau orang itu pinter, Insya Allah jalan rejeki itu mudah. Ummi pesen sama sampean yo naak, supaya belajar dengan baik dan sungguh-sungguh, supaya bisa mengangkat derajat keluarga dan membanggakan ayah sama ummimu ini,…!”, Supoyo iso nyekolahno adikmu iki,…Sopo maneh sing nguripi ummi karo nyekolahno adik mene nek gak awakmu,…!! ( Supaya bisa menyekolahkan adikmu ini,…Siapa lagi yang akan menghidupi ummi dan menyekolahkan adikmu nanti kalau bukan kamu,..!!) Ya Allah, aku menangis setiap mendengar ummiku berpesan seperti ini,…dan setiap hari beliau selalu mengingatkanku akan pentingnya menjadi orang yang pinter. Sejak saat itu aku berjanji dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri dan pada ummiku, aku akan menjadi orang yang pintar, supaya aku bisa mendapat beasiswa sehingga ummi tidak repot-repot mengeluarkan biaya sekolah untukku. Sejak saat itu aku mulai belajar setiap hari dan aku rela mengorbankan waktu bermainku demi melihat ummiku tersenyum. Setiap hari aku tidak pernah mengeluh ketika aku harus belajar bersama suara hentakan mesin jahit ummiku yang berisik, meskipun aku tahu itu akan mengganggu konsentrasiku, tapi aku tahu bahwa inilah satu-satunya sumber penghidupan kami. Aku tahu setiap hari ummiku bangun di sepertiga malam terakhir untuk menunaikan sholat tahajjud demi mendoakan kami anak-anaknya yang nakal. Aku tahu ummiku tidak lepas berpuasa senin kamis, tentu saja untuk mendoakan kedua anaknya yang nakal ini. Dan sampai saat ini, aku pun tahu, apapun yang beliau lakukan adalah demi kebaikan anak-anaknya. Dan sampai kini aku telah menjadi dokter-pun, aku yakin aku tidak akan bisa membalas jasa-jasanya. Aku melewati masa sekolahku berbeda dengan yang lain.
Ketika teman-temanku sibuk bermain dan bersenang-senang, aku harus merelakan waktuku untuk belajar dan belajar. Semua ini demi mengejar cita-citaku yang tinggi dan membahagiakan ummiku tercinta. Ada satu kisah yang menarik saat aku masih SMA, tepatnya saat-saat akhir SMA. Saat itu adalah saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku karena aku harus memilih tempat dimana aku akan melanjutkan kuliah. Meskipun keluarga kami adalah keluarga tidak mampu, ummiku selalu berpesan padaku bahwa aku harus melanjutkan kuliah. Nah, disinilah aku dihadapkan pada kebimbangan karena harus mengutarakan keinginanku menjadi dokter pada ummiku, aku sendiri tidak yakin beliau akan setuju. Tetapi cita-cita ini sudah aku pendam sejak dulu, sejak aku duduk di bangku SMP. Lucunya, tidak ada satupun yang tahu tentang cita-citaku ini bahkan ummiku sendiri. Aku memang bercita-cita menjadi dokter sejak dulu, dan aku memang menyimpannya untuk diriku sendiri. Bagiku, menjadi dokter hanya sebuah mimpi belaka karena sepanjang sepengetahuanku, sekolah kedokteran membutuhkan biaya yang besar yang jelas tidak akan mampu kami penuhi saat itu. Aku bahkan pernah mencoba mengutarakan maksud cita-citaku ini pada seorang guru BK di sekolahku, namun apa yang aku dapat tidak ubahnya hanya sebuah penghinaan dan aku sebut itu sebagai –Pemerolotan mimpi dan cita-cita–. Aku tahu guru tersebut melihat riwayat keluargaku dan pekerjaan orang tua-ku sehingga dengan yakin beliau mengatakan padaku bahwa, aku tidak akan pernah dapat kuliah di Kedokteran karena biaya-nya sangat mahal. Sedangkan kami hanya hidup dari uang pensiunan PNS golongan II dan gaji tambahan dari buruh jahit. Aku bilang “cukup!!”, bagiku ini adalah –Pemelorotan mimpi dan cita-cita–, Dan aku berpendapat bahwa tidak seharusnya seorang guru BK menjatuhkan mimpi murid-muridnya seperti ini. Aku kecewa, dan mulai saat itu aku tidak akan mengatakan pada siapapun tentang cita-citaku ini. (Sampai saat itu tiba……!!)
Aku memang bukan juara kelas, tetapi aku adalah langganan peserta Olimpiade Kimia mewakili SMA-ku di berbagai tingkat kejuaraan. Sehingga guru-guruku menilai dan sangat yakin sekali aku akan melanjutkan kuliah paling tidak di jurusan teknik. Dan aku meng-iyakan saja anjuran-anjuran itu. Aku menyukai Matematika, Fisika dan Kimia tetapi tidak Biologi. Tentu itu sebelum aku masuk kedokteran. Aku telah menyelesaikan SMA-ku dengan nilai yang memuaskan, dan sudah tiba saatnya aku mengutarakan keinginanku pada ummiku. Tahu apa yang terjadi kawan??, Yaa…Ummiku menangis tiada henti mendengar aku mengutarakan mimpi dan cita-citaku, dengan polos beliau mengatakan “Duit opo le…gawe sekolahmu dadi dokter, Ummi gak duwe duit sebanyak itu,..!! jawaban yang sudah aku perkirakan sebelumnya. Saat itu aku harus tetap teguh dan percaya akan kekuatan mimpi. Aku jelaskan pelan-pelan pada ummiku, aku utarakan lagi maksud kenapa aku mau menjadi dokter. Aku sampaikan lagi apa yang membuatku yakin bahwa aku bisa menjadi dokter tanpa biaya sebesar itu. Aku jelaskan semuanya. Ummiku tetap masih tidak percaya,…dan baru kali ini aku tidak mendapat dukungan penuh dari Ummiku kawan. Ummi yang aku sayangi…baru kali ini kawan. Karena kami tidak punya uang, maka sebenarnya ummiku sangat menginginkan aku untuk mengambil kuliah di Perguruan Tinggi yang sifatnya ikatan dinas, serta dibebaskan dari biaya kuliah. Ya, ummiku terang-terangan menginginkan aku untuk masuk STAN. STAN memang menggiurkan, karena lulusannya akan ditempatkan langsung di sebuah kantor sesuai dengan kompetensi jurusan yang diambil saat kuliah. Tetapi aku tidak menginginkannya,…!!
Lalu, apa yang membuatku yakin bahwa aku dapat masuk ke Fakultas Kedokteran saat itu??. Dia adalah seorang kakak kelasku di SMA. Namanya Sutrisno dan juga berasal dari desa. Anaknya pintar dan sekarang telah lulus menjadi dokter. Ya, dialah yang menjadi motivasi bagiku dan cita-cita ini. Aku katakan pada hati ini bahwa, “Jika mas Tris saja bisa, kenapa aku tidak,..??”. Mas Trisno juga sering memotivasi aku untuk melanjutkan kuliah di FK. Dia bilang dia akan menungguku di sana, di FK favorit yang aku idam-idamkan sejak dulu. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Kenapa FK UNAIR?? Karena selain memiliki sejarah yang bagus, FK Unair juga murah pada saat itu. …Dan aku bangga diluluskan olah FK UNAIR…. Singkat cerita, akhirnya ummiku memberikan kesempatan padaku untuk membuktikan mimpi dan cita-citaku. Aku berjanji pada beliau untuk mendapatkan beasiswa jika aku bisa masuk FK, aku akan bekerja untuk menghidupi diriku selama aku kuliah, dan aku berjanji akan menjadi dokter yang baik jika aku diterima di FK. Beliau menangis melepasku dalam pelukannya. Beliau meng-amini doa-doaku dalam tangis. Dan akupun menangis saat itu. Ummiku adalah ummi terhebat yang pernah ada kawan. Dan inilah buktinya, beliau memberikan uang tabungannya selama ini sebesar 2 juta untukku supaya aku bisa mendaftar bimbingan belajar sebelum SPMB. Saat itu aku bersama teman-temanku mengambil bimbingan di Surabaya selama satu bulan. Aku tidak mau menyia-nyiakan uang tabungan ummiku yang sudah beliau kumpulkan untuk aku. Aku berjanji pada beliau untuk belajar dan belajar setiap hari. Ummiku berpesan untuk selalu sholat tepat waktu, berjamaah, jangan lupa bersedekah, dan harus khatam satu juz Al-Qur’an. Kalau kita punya mimpi, maka yakinilah mimpi tersebut dalam hati, ucapkanlah dalam setiap do’a, berusahalah sampai dimana kita dapat berusaha, dan sandarkan mimpi-mimpi kita pada Allah SWT.
Biarkan Allah memeluk mimpi-mimpi kita dan memberikan yang terbaik untuk kita. Dan, saat itu Allah benar-benar memeluk mimpi-mimpiku kawan. Aku diberi kemudahan dalam mengerjakan SPMB, dan selang satu bulan kemudian namaku tercantum dalam daftar mahasiswa yang diterima di Fakultas Kedokteran UNAIR tahun ajaran 2006. Aku berlari menemui ummiku, aku memeluknya erat, aku menangis sejadi-jadinya dan beliau pun melakukan hal yang sama. Aku merebahkan tubuhku dalam sujud syukur, aku mengucap syukur dalam tangis dan sujud pada Allah, –Terima Kasih Ya Allah Engkau telah kabulkan do’a-doa kami–. Siapa sangka, anak seorang buruh jahit sebentar lagi akan menjadi dokter. Siapa yang menyangka bahwa kejadiannya akan seperti ini. Kami tahu bahwa setiap kesulitan selalu ada kemudahan kawan. Kami tahu Allah akan memberikan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Kami bersyukur pada-Nya. Aku menjalani proses pendidikan menjadi dokter dengan bangga. Aku berhasil mendapatkan beasiswa sebanyak tiga kali sepanjang 6 tahun aku sekolah. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kuliahku. Untuk kehidupan sehari-hari, aku memang harus bekerja sambilan, karena uang saku dari ummiku jelas tidak cukup untuk hidup di Surabaya. Aku tidak keberatan karena aku sudah meniatkan dalam hati sejak jauh-jauh hari bahwa memang aku harus bekerja. Kecintaanku pada pelajaran MIPA membuatku bekerja sebagai guru privat. Aku mengajar pelajaran MIPA untuk anak-anak SD dan SMP. Gajinya tidak besar tetapi cukup untuk bertahan hidup dan membayar kos-kosan. Buku-buku aku sisihkan dari pemberian ummiku tiap bulan yang hanya Rp 500.000,-. Lihat teman, Demi melihat aku bertahan kuliah, ummiku menyisihkan uang pensiunan ayahku yang saat itu hanya Rp. 850.000,- dan beliau hanya bertahan dengan sisa uang pensiunan ditambah penghasilan tambahan dari menjahit yang tidak seberapa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan sekolah adikku.
Aku selalu menangis bila mengingat itu. Aku juga sempat bekerja sebagai penjaga warnet shift malam di daerah dekat kampus ITS. Aku terpaksa bekerja sebagai penjaga warnet, untuk dapat menyelesaikan penelitian akhirku sebagai syarat kelulusan sebagai sarjana kedokteran. Aku membutuhkan koneksi internet untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Saat itu adalah saat-saat paling melelahkan karena setelah selesai kuliah aku harus berangkat untuk mengajar murid-muridku. Setelah itu aku harus istirahat, dan mulai jam 11 malam aku harus menjadi operator warnet sampai jam 7 pagi. Dan jam 07.30 aku sudah harus ada di Rumah Sakit untuk kuliah lagi. Ya, aku harus pintar membagi waktu untuk belajar demi mempertahankan beasiswa, bekerja untuk tetap bertahan hidup, dan ekstra ¬melek, demi selesainya tugas akhir. Aku bersyukur karena akhirnya aku bisa lulus menjadi dokter. Aku lulus tepat waktu dan aku bangga pada ummi yang senantiasa mendo’akan aku. Saat ini yang bisa aku lakukan adalah, aku ingin membuatnya bangga dan tersenyum padaku. Aku ingin memberitahunya bahwa doa-doanya selama ini telah dikabulkan oleh Allah, dan perjuangannya tidak sia-sia. Aku bersyukur bahwa aku dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga kecil ini. Aku bersyukur pada Allah karena dengan jalan hidup yang Allah berikan padaku telah membuatku tangguh dalam menjalani hidup ini. Aku bersyukur menjadi seorang “dr. Andri Subiantoro” yang dulu dilahirkan di desa, dibesarkan oleh seorang buruh jahit biasa. Buruh jahit, sekaligus ummi terhebat yang pernah aku miliki. Demikianlah cerita singkat masa laluku.
Cerita yang membuatku ingin menikmati indahnya Gunung Semeru di akhir tahun ini, untuk memberikan penghormatan setinggi-tingginya pada ummiku. Sekaligus untuk memperingati hari ibu. Aku dedikasikan pendakianku kali ini pada ummi terhebat sepanjang masa dan Ibu-ibu hebat yang lain di belahan bumi ini. Aku ingin mengenang jasa-jasa ummiku, mesikpun aku tahu aku tidak akan pernah bisa membalasnya. Seperti yang lalu-lalu kawan, setiap pendakianku akan selalu aku tujukan untuk mengenang sesuatu. Sesuatu yang aku anggap penting untuk dikenang di gunung-gunung. Karena menurutku, menikmati indahnya gunung akan terasa lebih nikmat kalau kita membawa misi di dalamnya. Dan satu lagi kawan, pada tanggal 4-8 Juli 2012 kemarin, aku telah memenuhi janjiku untuk kembali ke Mahameru dan Jonggring Saloka.
By : Motivasi Beasiswa